Minggu, 23 Desember 2012

Cerpen


Nasi Kucing Buat Ibu

“Aku bosan makan ikan terus, kapan sih buk kita makan ayam goreng, kayaaaak temen-temen aku, kentucky buk......... aku pengen kentucky”
“Kalau kamu ga mau makan, ya sudah......... ga usah banyak komplen”
”Ibuk ga sayang ya sama aku?”
”Anakku........mana ada ibu yang ga sayang sama anaknya. Tapi kita harus bersyukur, nak... Apa yang kita punya sekarang adalah nikmatNya yang harus kita syukuri, kita ga boleh mengeluh. Jangan cuma lihat teman-teman kamu yang makanan nya lebih enak, tapi coba lihat.......”
”Udah deh..........panjang banget ceramahnya. Toh aku tetap ga dibelikan ayam goreng kentucky”
Akupun pergi meninggalkan ibu dengan air matanya yang tertahan. Aku tahu ibu sedih, tapi seharusnya ibu lebih tau dong kalau aku lebih sedih. Sejak kakak kuliah, ibu selalu menghemat uang, makanan kami jadi seadanya. Ayah juga.....selalu pulang malam, tapi ga pernah bawa makanan enak lagi seperti dulu. Semua untuk kakak, semua untuk kakak, untuk akunya mana??? Kalau ayah ga sanggup jadi supir angkot lagi, biar aku yang gantikan. Toh aku bisa kerja, aku pasti bisa dapat uang lebih banyak daripada ayah.
Aku terus berjalan, terus menjauh dari rumah, berjalan menyusuri lorong-lorong bangunan. Aku sudah bertekat bulat tak akan pulang lagi, sampai ibu dan ayah sadar kalau aku dan kakak adalah anak mereka yang ga boleh dibeda-bedakan.
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, hingga tiba-tiba seseorang mengikat tanganku dari belakang.
“Serahkan semua yang kau miliki”
”......aaampun bg, aku ga punya apa-apa. Aku pun mau lari dari rumah bang... Tolong jangan sakitin aku”
”Banyak bacot lo.....”
Dia menggeledah seluruh tubuhku, tak ditemukannya apa-apa selain 3ribu rupiah sisa uang jajan sekolahku tadi. Kemudian dia langsung kabur.
Aku mengejarnya........ namun langkahnya terlalu cepat.
”Bang........aku ingin berteman”
Dia menghiraukanku begitu saja, namun aku tetap mengejarnya.
Diujung jalan, nafasku ngos-ngosan. Kulihat dia diseberang sedang membeli nasi kucing.
”Ya Allah.......kasian sekali, dia lapar” bisikku dalam hati.
Aku terus mengikutinya diam-diam. Dia berjalan ke arah gang, melompati jalan berparit yang bauk, lalu menuju sebuah rumah kumuh yang hanya sebesar teras rumahku. Aku tetap memperhatikannya dari jauh.
”Ya Allah........betapa miskinnya dia” bisikku lagi
“Ibu................nanda pulang bu, nanda bawa makanan bu....ibu makan ya......”
Seorang ibu-ibu tua keluar, berjalan tertatih-tatih dengan sebuah senyuman. Si anak menangis memeluk ibunya.
”Alhamdulillah nak, kita bisa makan. Ibu lapar sekali”
“Ya Rabb............apa ini??? Apa yang kulihat ini adalah sebuah mimpi atau sebuah kenyataan. Pelajaran ini sungguh berharga, Tuhan..... Anak itu rela mencuri hanya untuk membelikan makanan buat ibunya. Sementara aku?? Ayah bersusah payah mencari nafkah, dan ibu sudah rela memasakkan ku, dan aku hanya tinggal makan saja pun susah.... selalu mengeluh.....padahal aku bisa makan enak, bisa makan ikan.... tapi.....ampuni aku ya Rabb.....ampuni hambamu yang hina ini” Aku tak kuat menahan air mata.
Aku berlari pulang.........
”Ibu..............maafkan aku”

Minggu, 25 November 2012

Hukum Dasar Kimia


HUKUM – HUKUM DASAR KIMIA

  1. Hukum Kekekalan Massa (Hukum Lavoisier)
“ Massa zat sebelum dan sesudah reaksi adalah sama”
Contoh :
Perbandingan massa besi dan sulfur dalam menentukan pembentukan besi (II) sulfida.
Massa Zat Yang Bereaksi
Massa Zat Hasil Reaksi (FeS)
Besi
Sulfur
14 gram
8 gram
22 gram
28 gram
16 gram
44 gram
42 gram
24 gram
66 gram

  1. Hukum Perbandingan Tetap (Hukum Proust)
“Perbandingan massa unsur-unsur dalam setiap senyawa selalu tetap”
Contoh :
Suatu senyawa oksida besi (FeO) dengan perbandingan besi dan oksigen 7 : 2. Tentukan % massa besi dan oksigen dalam senyawa tersebut !
Jawab :
Total perbandingan = 7 + 2 = 9
% massa besi = 7/9 x 100 % = 77,8 %
% massa oksigen = 2/9 x 100 % = 22,2 %
Jadi % massa besi dan oksigen dalam FeO berturut-turut adalah 77,8% dan 22,2 %

  1. Hukum Perbandingan Berganda (Hukum Dalton)
“Jika dua unsur membentuk dua macam senyawa atau lebih, untuk massa salah satu unsur yang sama banyaknya, massa unsur kedua dalam senyawa-senyawa itu akan berbanding sebagai bilangan bulat dan sederhana”
Contoh :
Unsur A dan B dapat membentuk 2 macam senyawa. Senyawa I mengandung 40% unsur A dan senyawa II mengandung 25 % unsur A. Tentukan perbandingan massa unsur B sehingga mengikuti hukum perbandingan berganda Dalton!
Jawab:
Senyawa
% A
%B
(100 – %A)
I
4
100 – 40 = 60
II
25
100 – 25 = 75
Agar % A sama, senyawa I dikalikan faktor 2,5 dan senyawa II dikalikan faktor 4, sehingga diperoleh perbandingan massa A dan B sebagai berikut :
Senyawa
Massa A (gram)
Massa B (gram)
I
4 x 25 = 100
60 x 25 = 150
II
25 x 4 = 100
75 x 4 = 300
Jadi perbandingan massa B (pada senyawa I) dan B (pada senyawa II) adalah :
150 : 300 = 1 : 2
D. Hukum Perbandingan Volume (Hukum Gay-Lussac)
“Pada P dan T yang sama, perbandingan volume gas-gas yang bereaksi dan gas-gas hasil reaksi merupakan bilangan bulat dan sederhana”
Contoh :
Pada P dan T yang sama, 5 liter gas hidrogen direaksikan dengan gas oksigen menghasilkan uap air. Tentukan volume gas oksigen dan uap air tersebut !
Jawab :
Reaksi :
2 H2 + O2 → 2 H2O
Volume O2 = koef O2/ koef H2 x volume H2  =1/2x 5 liter = 2,5 liter
Volume H2O = koef H2O/ koef H2 x volume H2 = 2/2/ x 5 liter = 5 liter
  1. Hukum Avogadro
“Pada T dan P yang sama, semua gas yang volumenya sama mengandung jumlah molekul yang sama”
Contoh :
Pada pembakaran 50 molekul gas CH­4 dengan oksigen dihasilkan CO2 dan H2O. Tentukan :
  1. Persamaan reaksinya
  2. Jumlah molekul Oyang diperlukan
  3. Jumlah molekul CO2 yang dihasilkan
  4. Jumlah molekul H2O yang dihasilkan
Jawab :
  1. Persamaan reaksinya :
CH4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O
b.      Jumlah molekul O2 = 2/1 x 50 = 100 molekul
c.       Jumlah molekul CO2 = 1/1 x 50 = 50 molekul
d.      Jumlah molekul H2O = 2/1 x 50 = 100 molekul

SOAL :
1.      Jika 32 gram belerang bereaksi dengan tembaga menghasilkan 96 gram tembaga sulfida. Tentukan massa tembaga yang bereaksi !
2.      Unsur A dan B membentuk 2 macam senyawa. Senyawa I mengandugn 25 % unsur A dan senyawa II mengandung 70 % unsur A. Tentukan perbandingan unsur B pada senyawa I dan II sesuai hukum Dalton!
3.      Jika 10 Liter gas nitrogen direaksikan dengan 40 Liter gas hidrogen menghasilkan gas amonia menurut reaksi :
N2 + 3H2 → 2 NH3
Pada suhu dan tekanan yang sama, hitunglah volume gas NH3 yang dihasilkan!
Berapakah jumlah molekul oksigen yag diperlukan pada pembakaran 50 molekul gas CH4 dalam reaksi : CH4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O

Kamis, 15 November 2012

Contoh Skripsi


PENGARUH MEANINGFUL LEARNING DENGAN MEDIA VISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI
KOLOID DI SMA NEGERI 1 TANJUNGBALAI
TAHUN AJARAN 2010/2011



Oleh :
Rafizanisa Fahmi
NIM 071244310108
Program Studi Pendidikan Kimia







SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan




JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2011



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya ilmu kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam (IPA) yang memegang peranan penting serta pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi. Bidang studi ini memiliki peran penting dan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bahan makanan, minuman, pakaian bahkan industri. Melihat begitu pentingnya kimia dalam kehidupan manusia dan teknologi para siswa baik dari sekolah menengah bahkan sampai perguruan tinggi perlu dibekali pengutan kemampuan kimia, agar mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang saat ini prioritas pembangunan. 
Namun sisi lain kimia juga dapat dikategorikan ke dalam ilmu yang kaya akan konsep yang bersifat abstrak, sifat keabstarkan inilah yang menjadi penyebab kesulitan siswa dalam menyenangi untuk selanjutnya memahami pelajaran kimia. Konsep ilmu kimia mempunyai tingkat keabstrakan yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang sangat baik dalam memahami konsep yang terdapat dalam pelajaran kimia (Rumansyah, 2002).
Salah satu contoh materi dalam kimia yang bersifat abstrak adalah pada materi koloid. Koloid merupakan salah satu materi kimia di kelas XI SMA yang luas dengan konsep dan uraian. Pada materi ini, tidak terdapat penggunaan dan penerapan rumus, atau pemikiran serius dalam pemahamannya. Namun, hampir sebagian besar siswa menunjukkan hasil belajar yang kurang memuaskan. Hal ini dibuktikan dari hasil observasi di SMA Negeri 1 Tanjungbalai. Berdasarkan observasi data ujian formatif siswa tahun 2010 semester 2 di kelas XI IPA, dengan nilai ketuntasan minimum 70, hanya 33,33% siswa yang lulus KKM.
Rendahnya hasil belajar siswa dikarenakan dalam mempelajari koloid, mereka mengandalkan hafalan tanpa            memahami apa yang mereka hafal. Hal ini tidak akan dapat bertahan lama untuk mengingatnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan implementasi teori belajar bermakna (Meaningful Learning).
Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (Meaningful Learning). Pengetahuan disebut bermakna apabila dapat tahan lama diingat siswa. Belajar  akan lebih bermakna jika ada hubungan pelajaran yang baru dengan apa yang ada di dalam sturktur kognitif anak (Tambunan dan Simanjuntak, 2009).
Pengajaran kimia dengan mengimplementasikan teori Ausubel secara khusus telah dilakukan oleh Pasaribu (2005) pada pokok bahasan sifat koligatif larutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang sifat koligatif larutan sebesar 20,8%.
Penelitian lain, Batubara (2007) menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran konsep perhitungan kimia. Hasil penelitian menyatakan bahwa penerapan teori Ausubel akan meningkatkan pemahaman siswa dalam mengerjakan soal-soal perhitungan kimia sebesar 11,73 %.
Pemahaman siswa pada materi sifat koligatif larutan dan konsep perhitungan kimia terbukti meningkat dengan mengimplementasikan belajar bermakna dari teori Ausubel. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengimplemen-tasikan teori belajar bermakna (Meaningful Learning) Ausubel pada materi yang sama sekali tidak ada penggunaan rumusnya, yaitu koloid.
Pembelajaran bermakna (Meaningful Learning) cocok diterapkan pada materi koloid, karena materi koloid dapat dihubungkan dengan materi sebelumnya yakni tentang penggolongan materi, sehingga informasi akan diperoleh siswa secara tersturktur. Dengan menghubungkan suatu informasi dengan informasi sebelumnya, maka informasi baru akan lebih mudah untuk diingat.
Dalam implementasi teori belajar bermakna Ausubel, diterapkan advance organizer di dalam pembelajarannya. Advance organizer adalah sebuah model pembelajaran yang membantu para siswa untuk mengorganisasikan informasi yang menyambungkan ke struktur kognitif yang lebih luas.
Implementasi Meaningful Learning pada materi koloid terbukti berpegaruh positif terhadap keberhasilan belajar siswa, dengan persen efektifitas sebesar 43,34% (Naibaho, 2010). Namun, advance organizer dalam penelitian ini dilakukan hanya dengan meberikan informasi verbal. Untuk itu penulis tertarik untuk menambahkan media visual pada advance organizer untuk memudahkan siswa dalam memahami konsep dan menghubungkannya dengan konsep sebelumnya. Karena pada dasarnya anak akan lebih mudah mengingat setiap apa yang ia lihat.
Bertolak dari latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitan dengan judul, ”Pengaruh Meaningful Learning dengan Media Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Koloid di SMA Negeri 1 Tanjung balai T.A 2010/2011”

1.2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini untuk mengetahui pengaruh meaningful learning dengan media visual terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid di SMA Negeri 1 Tanjungbalai T.A 2010/2011.

1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Apakah hasil belajar kimia siswa yang dibelajarkan dengan implementasi meaningful learning lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan pengajaran konvensional pada pokok bahasan koloid di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai”

1.4. Batasan Masalah
Hal-hal terkait dalam masalah di atas, dibatasi sebagai berikut :
1.      Siswa SMA yang diteliti adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai Tahun Ajaran 200/2011 semester genap
2.      Pembelajaran kimia tersebut adalah pembelajaran pada materi koloid
3.      Siswa yang diteliti hanyalah siswa yang diajar oleh guru yang sama

1.5.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil belajar kimia siswa yang dibelajarkan dengan implementasi meaningful learning lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan pengajaran konvensional pada pokok bahasan koloid di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai”.
1.6.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.      Memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa terutama pada materi koloid
2.      Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam bidang pendidikan khususnya dalam pengaplikasian teori belajar di lapangan.
3.      Sebagai masukan bagi pihak sekolah dalam rangka mengupayakan proses pembelajaran kimia yang efektif
4.      Menambah informasi ilmiah dan sumber referensi bagi penelitian selanjutnya

1.7.Defenisi Operasional
a) Meaningful Learning
Meaningful Learning adalah pembelajaran bermakna, suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
b) Media Visual
Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Media visual yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara.
c) Hasil belajar
Hasil belajar ialah hasil yang diperoleh setelah melalaui proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, hasil belajar adalah nilai gain ternormalisasi.
d) Materi Koloid
Materi pelajaran kimia SMA kelas XI semester 2 yang  membahas tentang pengertian koloid, jenis koloid, sifat koloid, kegunaan koloid, dan pembuatannya. 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

      2.1.1. Belajar Menurut Ausubel

Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada stuktur kognitif yang ada (Dahar, 1996).
Pada dimensi pertama, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa dengan cara penemuan dan penerimaan. Cara penerimaan menyajikan informasi itu dalam bentuk final. Cara penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam dimensi kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah diketahuinya dalam hal ini telah terjadi belajar bermakna, akan tetapi siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya , dalam hal ini terjadi belajar hafalan
Gambar 2.1. Bentuk-bentuk belajar bermakna (menurut Ausubel & Robinson, 1969)
Menerima dan menemukan (reception dan discovery) adalah langkah pertama dalam belajar. Langkah kedua adalah usaha mengingat atau menguasai apa yang dipelajari itu agar kemudian dapat dipergunakan. Jika seseorang berusaha menguasai informasi baru itu dengan jalan menghubungkannya dengan apa yang telah diketahuinya, terjadilah belajar  bermakna. Jika seseorang hanya berusaha mengingat informasi baru itu, terjadilah menghapal (Slameto, 2010).

2.1.1.1. Belajar Bermakna (Meaningful Learning)
Belajar bermakna merupakan inti dari teori Ausbel. Untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar sebaiknyalah kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh Ausubel dalam bukunya yang berjudul ”Education Psychology : A Cognitive View”. Pernyataan itu berbunyi: “The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him acordingly”. Dalam bahasa kita kurang lebih pernyataan itu berbunyi : “Faktor yang paling mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui oleh siswa. Yakinilah ini dan ajarkan ia demikian.” Pernyataan ausubel inilah yang menjadi inti teori belajarnya, agar terjadi belajar bermakna konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa (Dahar,1996).
               Proses mengintegrasikan informasi atau ide baru ke dalam struktur kognitif yang telah ada disebut subsumi. Ada dua macam subsumi yaitu : (1) subsumi derivatif, bila informasi atau ide baru adalah kasus khusus yang membantu atau menerangkan ide yang telah dipunyai; dan (2) subsumi korelatif, bila ide (informasi, konsep, dan sebagainya) yang baru mengubah ide (informasi, konsep, dan sebagainya) yang telah dipunyai. Subsumi ini bermanfaat untuk memperkuat belajar dan mencegah lupa (Slameto, 2010).

2.1.1.2. Belajar Menghafal
Belajar menjadi hafalan apabila tidak ada hubungan informasi baru yang diterima dengan apa yang ada di struktur kognitif anak (dalam pikiran anak) sehingga cepat lupa. Struktur kognitif, susunan pengetahuan, atau isi dalam pikiran anak adalah dasar untuk menghubungkan dan menguatkan informasi baru kognisi anak yang datang dari luar. (Tambunan & Simanjuntak, 2009).
Dalam menghafal, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, antara lain: mengenai tujuan, pengertian, perhatian, dan ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-syarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia. Siswa lebih senang dengan cara menghafal, karena antara lain: (1) belajar dengan cara menghafal adalah yang paling sederhana dan mudah; (2) adanya kecemasan/ perasaan tidak mampu menguasai bahan, sebagai pemecahannya maka bahan dicoba dikuasai dengan menghafalkannya; (3) adanya tekanan pada jalannya pelajaran, untuk menutupi kekurangan-kekurangan dibatasi dengan menghafal; (4) pengalaman dan kebiasaan (Djamarah dan Zain, 2006).

2.1.2. Media Pembelajaran
        Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang secara harafiah berarti “perantara” atau “pengantar”. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar.
        Media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar ikut membantu guru memperkaya wawasan anak didik. Aneka macam bentuk dan jenis media pembelajaran yang digunakan oleh guru menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak didik. Dalam menerangkan suatu benda, guru dapat membawa bendanya langsung ke hadapan anak didik di kelas. Dengan menghadirkan bendanya seiring dengan penjelasan mengenai benda itu, maka benda itu dijadikan sumber belajar.
        Akhirnya, dapat dipahami bahwa media adalah alat bantu dalam proses belajar mengajar. Dan gurulah yang mempergunakannya untuk membelajarkan anak didik demi tercapainya tujuan pengajaran. Guru yang pandai menggunakan media adalah guru yang bisa manipulasi media sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada anak didik dalam proses belajar mengajar (Djamarah dan Zain, 2006).
           
2.1.2.1. Media Visual
Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Media visual yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara (Sanjaya, 2006).
Levie & Leintz mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi,yakni menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran; (b) fungsi afektif, yaitu menggugah emosi dan sikap siswa;  (c) fungsi kognitif, yaitu memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung ; dan (d) fungsi kompensatoris, yaitu memberikan konteks untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal (Arsyad, 2009).
Media visual terbagi dalam 2 bagian, yaitu media yang tidak diproyeksikan dan media proyeksi.
A. Media yang tidak diproyeksikan
Media ini memiliki beberapa bentuk, antara lain:
a. Media Relia
Media realia adalah benda nyata. Benda tersebut tidak harus dihadirkan di ruang kelas, tetapi siswa dapat melihat langsung ke obyek. Kelebihan dari media realia ini adalah dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa.
b. Model
Model adalah benda tiruan dalam wujud tiga dimensi yang merupakan representasi atau pengganti dari benda yang sesungguhnya. Penggunaan model untuk mengatasi kendala tertentu sebagai pengganti realia.    
      c. Media Grafis
    Media grafis tergolong media visual yang menyalurkan pesan melalui simbol-simbol visual. Fungsi dari media grafis adalah menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran, dan mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan jika hanya dilakukan melalui penjelasan verbal. Jenis-jenis media grafis adalah: (1) Gambar/foto : paling umum digunakan ; (2) Sketsa: gambar sederhana atau draft kasar yang melukiskan bagian pokok tanpa detail ; (3) Diagram/skema : gambar sederhana, menggunakan garis dan simbol untuk menggambarkan struktur dari obyek tertentu secara garis besar ; (4) Bagan / chart : bagan yang mampu memberikan ringkasan butir-butir penting dari penyajian ; dan (5) Grafik: gambar sederhana yang menggunakan garis, titik, simbol verbal atau bentuk tertentu yang menggambarkan data kuantitatif.
  B.  Media Proyeksi
Media ini memiliki beberapa bentuk, antara lain:
a. Transparansi OHP
Transparansi OHP merupakan alat bantu mengajar tatap muka sejati, sebab tata letak ruang kelas tetap seperti biasa, guru dapat bertatap muka dengan siswa (tanpa harus membelakangi siswa). Perangkat media transparansi meliputi perangkat lunak (Overhead transparancy / OHT) dan perangkat keras (Overhead projector / OHP).

b. Film bingkai/slide
Film bingkai / slide adalah film transparan yang umumnya berukuran 35 mm dan diberi bingkai 2x2 inci. Dalam satu paket berisi beberapa film bingkai yang terpisah satu sama lain. Manfaat film bingkai hampir sama dengan transparansi OHP, hanya kualitas visual yang dihasilkan lebih bagus. Sedangkan kelemahannya adalah biaya produksi dan peralatan lebih mahal serta kurang praktis. Untuk menyajikan dibutuhkan proyektor slide.

2.1.3. Kelebihan dan Kekurangan Media Visual
Kelebihan media visual: (1) Menarik, karena memungkinkan penyajian yang variatif dan disertai dengan gambar dan warna; (2) Perbaikan / revisi mudah dilakukan; (3) Pembuatannya mudah dan harganya murah; (4) Dapat digunakan untuk menyajikan pesan di semua ukuran ruangan kelas; (5) Tatap muka dengan siswa selalu terjaga dan memungkinkan siswa untuk mencatat hal-hal yang penting; (6) Dapat menyajikan pesan yang banyak dalam waktu relatif singkat.
Kekurangan media visual: (1) Hanya berupa sesuatu yang dilihat,sehing-ga untuk memahaminya secara tepat diperlukan konsentrasi penuh; (2) Pemaham-an yang kurang tepat dari penyajian suatu objek dapat menimbulkan kesalahan persepsi; (3) Memerlukan kreatifitas agar dapat membuat media visual yang menarik; (4) Memerulukan biaya produksi yang mahal, bila media visual merupa-kan media cetak. (Airlangga,dkk,2008,http://periodismonline.wordpress.com/ 200801/29/kekurangan-dan-kelebihan-media/ diunduh pada tanggal 23 Februari 2011 pukul 21.33)

2.1.4. Koloid
A. Pengertian Sistem Koloid
Koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya antara larutan dan suspensi.  Untuk memahami sistem koloid, marilah kita membandingkan tiga jenis campuran berikut yaitu campuran gula dengan air, campuran tepung terigu dengan air dan campuran susu dengan air.
Apabila kita campurkan gula dengan air, ternyata gula larut dan diperoleh larutan gula. Di dalam larutan, zat terlarut tersebar dalam bentuk partikel yang sangat kecil sehingga tidak dapat dibedakan lagi dari mediumnya walaupun menggunakan mikroskop ultra. Larutan bersifat kontinu dan merupakan system satu fase (homogen). Ukuran partikel zat terlerut kurang dari 1 nm (1 nm = 10-9 m). Larutan bersifat stabil (tidak memisah) dan tidak dapat disaring.
Di pihak lain jika kita campurkan tepung terigu dengan air ternyata tepung terigu tidak larut. Walaupun campuran ini diaduk, lambat laun tepung terigu akan memisah (mengalami sedimentasi). Campuran seperti ini disebut suspensi. Suspensi bersifat heterogen, tidak kontinu sehingga merupakan sistem dua fase. Ukuran partikel tersuspensi lebih besar dari 100 nm (Purba,2006).






Gambar 2.2 Air susu tampak homogen secara makroskopis, namun pada tingkat mikroskopis bersifat heterogen
Selanjutnya jika kita campurkan susu dengan air, ternyata susu "larut" tetapi "larutan" itu tidak bening melainkan keruh. Jika didiamkan campuran itu tidak memisah dan juga tidak dapat dipisahkan dengan penyaringan (hasil penyaringan tetap keruh). Secara makroskopis campuran ini tampak homogen. Akan tetapi, jika diamati dengan mikroskop ultra ternyata masih dapat dibedakan partikel-pertikel lemak susu yang tersebar di dalam air. Campuran seperti inilah disebut Koloid. (Purba,2006)
Tabel 2.1. Perbandingan Umum Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi

No
Larutan
Koloid
Suspensi
1.
Homogen
Heterogen
Heterogen
2.
Stabil
Umumnya stabil
Tidak stabil
3.
Satu fase
Dua fase
Dua fase
4.
Ukuran partikel < 1 nm
Antara 1-100 nm
Lebih dari 100 nm
5.
Tidak dapat disaring
Tidak dapat disaring
Dapat disaring
6.
Jernih
Agak keruh
Keruh
           
B. Jenis-Jenis Koloid
Koloid memiliki bentuk bermacam-macam, tergantung dari fasa zat pendispersi dan zat terdispersinya. Beberapa jenis koloid (Sutresna, 2005)
Tabel 2.2. Jenis-jenis Koloid
           

C. Sifat-Sifat Koloid
              Sistem koloid mempunyai sifat yang khas, yang berbeda dengan sifat sistem dispersi lainnya. Beberapa sifat koloid yang khas adalah sebagai berikut :
1.      Efek Tyndall
              Terhamburnya cahaya oleh partikel koloid disebut Efek Tyndall. Partikel koloid dan suspensi cukup besar untuk dapat menghamburkan sinar, sedangkan partikel larutan sangat kecil sehingga tidak dapat menghamburkan cahaya.
2.      Gerak Brown
              Apabila dispersi koloid diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran yang tinggi maka akan tampak adanya partikel yang bergerak dengan arah yang acak (tak beratutan), gerakan-gerakan tersebut mempunyai lintasan lurus. Gerakan partikel koloid dengan lintasan lurus dan arah yang acak disebut gerak Brown.
              Gerak Brown ini terjadi karena adanya tumbukan partikel-partikel pendispersi terhadap partikel terdispersi, dan partikel terdispersi akan terlontar.
3.      Muatan Koloid
a. Elektroforesis
Partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. Pergerakan partikel koloid dalam medan listrik disebut elektroforesis.
b. Adsorpsi
              Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan muatan oleh permukaan-permukaan partikel koloid. Adsorpsi terjadi karena adanya kemampuan partikel koloid untuk menarik oleh partikel-partikel kecil. Kemampuan menarik ini disebabkan adanya tegangan permukaan koloid yang cukup tinggi, sehingga bila ada partikel yang menempel cenderung dipertahankan di permukaannya.

            D. Pembuatan Sistem Koloid
Ukuran partikel koloid terletak antara partikel larutan sejati dan partikel suspensi. Oleh karena itu, sistem koloid dapat dibuat dengan pengelompokkan partikel larutan sejati (kondensasi) atau menghaluskan bahan dalam bentuk kasar kemudian didispersikan kedalam medium dispersi.

1. Cara Kondensasi
Dengan cara kondensasi, partikel larutan sejati (molekul atau ion) bergabung menjadi partikel koloid. Cara ini dapat dilakukan melalui reaksi-reaksi kimia, seperti reaksi redoks, reaksi hidrolisis, dan reaksi dekomposisi rangkap, atau dengan reaksi pergantian pelarut.

a. Reaksi Redoks
Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai perubahan bilangan oksidasi. Contohnya, pembuatan sol belerang dari reaksi antara hidrogen sulfide (H2S) dengan belerang dioksida (SO2), yaitu dengan mengalirkan gas H2S kedalam larutan SO2.
2H2S (g) + SO2 (aq)                        2H2O (l) + 3S (Koloid)

b. Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Contohnya, pembuatan sol Fe(OH)3 dari hidrolisis FeCl3. apabila kedalam air mendidih ditambahkan larutan FeCl3, akan terbentuk sol Fe(OH)3.
FeCl3 (aq) + 3H2O (l)                  Fe(OH)3(koloid) + 3HCl (aq)

c. Dekomposisi Rangkap
Contoh 1:
Sol As2S3 dapat dibuat dari reaksi antara larutan H3AsO3 dengan larutan H2S.
2H3AsO3 (aq) + 3H2S(aq)                        As2S3(koloid) + 6H2O(l)
Contoh 2:
Sol AgCl dapat dibuat dengan mencampurkan larutan perak nitrat encer dengan larutan HCl encer.
AgNO3 (aq) + HCl(aq)                 AgCl (koloid) +  HNO3 (aq)

d. Pengganti Pelarut
Selain dengan cara-cara kimia seperti diatas, koloid juga dapat terbentuk dengan pengganti pelarut. Contohnya, apabila larutan jenuh kalsium asetat dicampur dengan alkohol akan terbentuk suatu koloid berupa gel.
2. Cara Dispersi
Dengan cara dispersi, partikel kasar dipecah menjadi partikel koloid.
a. Cara Mekanik
Menurut cara ini butir-butir kasar digerus dengan lumping atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu, kemudian diaduk dengan medium dispersi. Contohnya, sol belerang dapat dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersma-sama dengan suatu zat inert (seperti gula pasir), kemudian mencampur serbuk halus itu dengan air.

b.Cara Peptisasi
Cara peptisasi adalah pembuatan koloid dari butir-butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi (pemecah). Zat pemeptisasi memecahkan butir-butir kasar menjadi butir-butir koloid. Istilah peptisasi dikaitkan dengan peptonisasi, yaitu proses pemecahan protein (polipeptida) yang dikatalisis oleh enzim pepsin. Contohnya, agar-agar dipeptisasi oleh air, Endapan NiS dipeptisasi oleh H2S dan endapan Al(OH)3 oleh AlCl3.

Cara dispersi
 
Text Box: Cara kondensasi
Gambar 2.3. Skema Pembuatan Kedua Proses Koloid


2.1.5. Implementasi Meaningful Learning Media Visual Dalam Mengajar Materi Koloid
               Dalam penerapan teori Ausubel dalam mengajar, ada beberapa konsep dan prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu advance organizer, diferensiasi progresif, belajar subordinat, dan penyesuaian integratif (Dahar,1996).
               Pengaturan awal (advance organizer), yaitu mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali informasi relevan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Pengaturan awal tersebut berisi konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi belajar yang sesungguhnya diberikan. Pengaturan awal ini sangat berguna dalam mengajarkan materi pelajaran yang sudah mempunyai struktur yang teratur. Ada tiga hal yang dapat dicapai dengan menggunakan pengaturan awal, yaitu (1) Pengaturan awal memberikan kerangka konseptual untuk belajar yang bakal terjadi berikutnya: (2) Dapat menjadi penghubung antara informasi yang sudah dimiliki siswa saat ini dengan informasi baru yang akan diterima/dipelajari. (3) Berfungsi sebagai jembatan penghubung antara struktur kognitif lama dengan struktur kognitif baru.
               Kebanyakan advance organizer berisi materi lama yang sudah dikenal baik oleh si belajar namun masih mempunyai hubungan dengan materi yang baru.
Dalam pengimplementasi Meaningful Learning, advance organizer yang dilakukan dalam penelitian ini yakni dengan mengulang kembali (review) penggolongan materi sebagai penunjang konsep koloid, untuk mengarahkan kembali konsep-konsep kognitif yang dimiliki oleh siswa, dan membuat organisasi konsep, dengan bantuan media visual peta konsep berikut :



              








Gambar.2.4. Skema Klasifikasi Materi

               Difrensiasi progresif. Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu hal umum baru hal khusus dan rinci, selanjutnya penjelasan disertai dengan contoh. Pada materi koloid, maka akan dijelaskan terlebih dahulu pegertian koloid, sifat-sifat koloid secara umum dan jenis-jenis koloid diikuti dengan contoh beserta kegunaan koloid dalam kehidupan.
               Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif, konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi. Proses ini dapat berlangsung saat ditemukan hal yang baru. Dalam pengimplementasi Meaningful Learning, belajar superordinat yang dilakukan dalam penelitian ini yakni dengan metode praktikum.
               Belajar bermakna akan terjadi jika siswa mampu mengaitkan konsep yang bersifat logika abstrak dengan pengalaman nyata baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam skala laboratorium. Melalui kegiatan praktikum, siswa akan mendapatkan konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung, mengamati, menafsirkan, meramalkan serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan selama kegiatan praktikum berlangsung.
               Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Kadang-kadang seorang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut pertentangan kognitif (cognitive dissonance). Hal ini terjadi bila dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih dari satu konsep. Untuk  mengatasinya, Ausbel menyarankan agar guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang dijelaskan terlebih dahulu dan telah dikuasai oleh siswa. Dengan demikian si belajar akan mengetahui alasan dan manfaat materi yang akan dijelaskan tersebut (Dahar, 1996).
               Dalam meaningful learning, penyesuaian integratif pada peneliitian ini dilakukan dengan memberikan peta konsep bagi siswa sebagai alat evaluasi. Siswa diperintahkan untuk melengkapi peta konsep dan menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Apabila pernyataan mereka kurang tepat atau salah dari teori yang ada, maka guru akan meluruskan jawaban dan menjelaskannya.

2.1.6. Pembelajaran Konvensional
               Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berlangsung pada keadaan biasanya dalam suatu proses belajar mengajar. Di mana dalam proses pembelajaran tersebut siswa cenderung sebagai pendengar (menerima/ pasif ). Guru lebih memonopoli kelas. Akibatnya, siswa kurang bergairah dan kurang berani mengeluarkan ide dan pendapat karena takut salah. Siswa yang rajin di kelaslah yang lebih aktif dan menjadi sentral perhatian siswa yang lain maupun guru. Sehingga guru akan lebih memperhatikan siswa tersebut dan siswa yang lain hampir tidak mampu mengembangkan potensinya. Hasil belajar yang diperoleh beberapa siswa hasilnya cenderung memuaskan, sebagian cukup dan banyak juga yang kurang baik. (Djamarah dan Zain, 2006)

2.1.7. Hasil Belajar
               Hasil dari proses belajar-mengajar tersebut dinamakan hasil belajar. Hasil belajar tersebut dapat dibedakan menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat terukur seperti yang tertuang dalam raport, angka dalam ijazah atau kemampuan meloncat setelah jatuhan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain, sesuatu transfer belajar. Perubahan yang terjadi pada proses belajar-mengajar adalah hasil pengalaman atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari. Proses yang dialami terjadi perubahan dalam diri pembelajar diarahkan pada tercapainya perubahan tersebut. Dengan demikian hasil belajar adalah adanya kemampuan dan perubahan tingkah laku yang dimiliki seseorang setelah proses pembelajaran.
           
2.2. Kerangka Konseptual
Koloid merupakan salah satu pokok bahasan yang dianggap sulit oleh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Tanjungbalai. Hal ini disebabkan karena pokok bahasan ini bersifat abstrak, sehingga dalam mempelajari koloid, siswa lebih mengandalkan hafalan tanpa memahami apa yang mereka hafal. Hal ini tidak akan dapat bertahan lama untuk mengingatnya.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan implementasi teori belajar bermakna meaningful learning. Meaningful Learning adalah pembelajaran bermakna, di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai siswa, sehingga pengetahuan akan lebih tahan lama untuk diingat.
Dalam mengimplementasikan meaningful learning dalam pembelajaran, ada beberapa konsep dan prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu advance organizer, diferensiasi progresif, belajar subordinat, dan penyesuaian integratif.
Advance organizer merupakan pengaturan awal yakni mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali informasi relevan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Difrensiasi progresif yakni menjelaskan terlebih dahulu hal umum baru hal khusus dan rinci, selanjutnya penjelasan disertai dengan contoh.  Belajar Superordinat artinya selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif, konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi. Dan penyesuaian integratif (rekonsiliasi integratif) di mana guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi bila terjadi pertentangan kognitif (cognitive dissonance).
Untuk mengoptimalkan meaningful learning dalam pembelajaran, diperlukan media yang sesuai. Dalam hal ini penulis menawarkan media visual, yakni media yang disajikan dengan mengutamakan indera penglihatan. Media ini berupa peta konsep dan media relia (larutan gula, susu, campuran air-kanji) pada saat memberikan advance organizer, dan slide-slide powerpoint berisi tabel, peta konsep serta gambar-gambar koloid dalam kehidupan dalam menyajikan materi untuk menjelaskan diferensiasi progresif konsep.
Pembelajaran bermakna (meaningful learning) ini akan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran yang biasa terjadi di sekolah tersebut yakni pembelajaran dengan metode ceremah, tanya jawab dan penugasan. Pembelajaran bermakna (meaningful learning) diharapkan memberikan pengaruh positif dan hasil belajarnya meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.


2.3. Hipotesis Penelitian

         2.3.1. Hipotesis Verbal
Hipotesis nol (Ho):
            Hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan meaningful learning media visual tidak lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada pembelajaran konvensional.

         Hipotesis alternative (Ha) :
            Hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan meaningful learning media visual lebih tinggi dibandingkan dengan  hasil belajar siswa pada pembelajaran konvensional.

2.3.2. Hipotesis Statistik
                     Ho          :          
                     Ha          :          
μ1      : Rata-rata gain ternormalisasi hasil belajar kimia siswa kelas  eksperimen
μ2      : Rata-rata gain ternormalisasi hasil belajar kimia siswa kelas kontrol


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai, yang berlangsung pada bulan Mei-Juni 2011, pada semester II Tahun Ajaran 2010/2011.

3.2. Populasi dan Sampel
Menurut Arikunto (2006), populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai Tahun Ajaran 2010-2011 yang terdiri dari 5 kelas (153 orang).
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi (Sudjana, 2005).  Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposive, dan diperoleh dua kelas sampel, kelas XI IPA 3 dan XI IPA 4. Cara purposive dilakukan bertujuan agar siswa yang menjadi sampel adalah siswa yang diajar oleh guru yang sama sehingga siswa memiliki tingkat kemampuan kognitif yang sama. Kelas XI IPA 3 dijadikan sebagai kelas eksperimen, sedangkan kelas XI IPA 4 dijadikan sebagai kelas kontrol.

3.3. Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi penyebab. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran meaningful learning dengan media visual. Variabel terikat adalah variabel yang menjadi akibat dari suatu penyebab. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada pokok bahasan koloid. Variabel kontrol adalah variabel yang harus dikendalikan dalam suatu penelitian. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah materi yang diajarkan, buku pegangan siswa, guru yang mengajar, kurikulum, jumlah jam pelajaran, soal pre test dan post test semuanya sama.
Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data di dalam penelitian yang dilakukan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar siswa berupa tes berbentuk pilihan sebanyak 20 butir soal. Setiap soal memiliki 5 option (a, b, c, d, e) tentang materi pokok bahasan koloid. Setiap jawaban yang benar diberi skor 1 dan jumlah yang salah diberi skor 0. Pengambilan data dilakukan diawal (pre-tes) dan diakhir pembelajaran (post-tes). Terhadap soal tersebut sebelumnya telah dilakukan uji instrumen yakni untuk mengetahui validitas, realibilitas, taraf kesukaran tes dan daya pembeda tes.
a. Uji Validitas Tes 
            Validitas adalah ketelitian dan ketepatan suatu alat pengukur (instrumen) di mana jika instrumen tersebut digunakan akan memberikan hasil yang sesuai dengan besar kecilnya gejala yang diukur. Suatu instrumen dikatakan “valid” atau “sahih” apabila tes tersebut tepat dan teliti mengukur apa yang hendak diukur. Penentuan validitas butir tes dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi (koefisien validitas) antara skor butir tes (item) dengan skor total dengan rumus Product Moment :
            rxy =    
Keterangan :
               X = skor butir tes
               Y = skor total
Koefisien validitas yang diperoleh (r­xy) dibandingkan dengan nilai-nilai r tabel Product Moment dengan derajat bebas (db=N-2) pada α = 0,05, dengan kriteria jika rhitung > rtabel maka butir tes tersebut dikatakan valid (Silitonga, 2011).
b. Uji Reliabilitas Tes
               Uji ini dilakukan agar tes tersebut mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi sehingga dapat memberikan hasil yang tepat. Untuk menguji relibilitas, maka digunakan rumus KR-20 yang dikemukakan oleh Kuder-Richardson yaitu :
                    
Keterangan : n  = Jumlah item                        q   = Kontribusi skor salah (1-p)
                     S2 = Standar deviasi                   r11 = Reliabilitas
                     p   = Kontribusi skor yang benar



Kriteria derajat reliabilitas suatu tes sebagai berikut:


0,80≤α<1       : reliabilitas sangat tinggi
0,61≤α<0,80  : reliabilitas tinggi
0,41≤α<0,60   : reliabilitas sedang
0,20≤α<0,40 : reliabilitas rendah
α<0,20          : reliabilitas sangat rendah


               Untuk menafsirkan harga reliabilitas dari soal maka harga tersebut dikonsultasikan ke tabel harga kritik rtabel product moment dengan α = 0,05, jika diperoleh rhitung > rtabel maka soal dinyatakan reliabel (Silitonga, 2011).

            c. Taraf Kesukaran Tes
            Untuk menentukan tingkat kesukaran masing-masing soal digunakan rumus (Silitonga, 2011):
                         
Ket:     P = Indeks kesukaran
B = Banyaknya siswa yang menjawab soal dengan benar
T = Jumlah seluruh peserta tes.

Indeks kesukaran diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. soal dengan P 0,00-0,30 adalah soal sukar
  2. soal dengan P 0,31-0,70 adalah soal sedang
  3. soal dengan P 0,71-1,00 adalah soal mudah



d. Daya Pembeda
            Untuk menentukan daya beda masing-masing soal digunakan rumus:
 
Ket:  D      : daya pembeda
         BA   : banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
         BB    : banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
         JA     : banyaknya peserta kelompok atas 
         JB     : banyaknya peserta kelompok bawah
Klasifikasi daya beda (D) yaitu:


D = 0.00-0,20 jelek
D = 0.21-0,40 cukup
D = 0.41-0,70 baik
D = 0.71-1,00 baik sekali


D = negatif, semuanya tidak baik, jadi semua butir soal yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya dibuang saja (Silitonga, 2011).

3.4. Rancangan / Desain Penelitian
Pretest
 
Populasi
 
Sampel
 
            Desain penelitian yang akan dilakukan ditunjukkan seperti skema berikut :






 








 














 





Gambar 3.1. Skema Rancangan/Desain Penelitian
3.5.Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
   1.  Mengadakan observasi
Observasi dilakukan untuk mengambil data siswa dari pihak sekolah sehubungan dengan penentuan sampel dan populasi. Hasil observasi berupa jumlah siswa populasi dan sampel, daftar nama siswa, jam belajar siswa, guru yang mengajar di sekolah tersebut dan tersedianya fasilitas yang mendukung media dalam penelitian ini.
2.  Metode Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang dipergunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. (Arikunto, 2006). Metode tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar kimia siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, yang dilaksanakan pada pre test dan post test.

3.6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang diperoleh adalah dari kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah data dari kelas ini diperoleh, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Mentabulasi data yang diperoleh.
  2. Untuk tiap item dijumlahkan frekuensi jawaban
  3. Mencari harga X, Y. ∑X, ∑Y, ∑XY, (∑X)2, (∑Y)2 serta simpangan baku
                    

Simpangan Baku :      
            Untuk pengolahan data selanjutnya adalah sebagai berikut:


            a. Uji Normalitas
            Uji normalitas diadakan untuk mengetahui normal atau tidaknya data penelitian tiap variabel penelitian. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji chi kuadrat.
            Pengujian normalitas data dengan uji chi kuadrat (X2) dilakukan dengan cara membandingkan kurva baku/standar (A) dengan kurva normal yang terbentuk dari data yang terkumpul (B). Bila B tidak berbeda secara signifikan dengan A, maka disimpulkan bahwa B merupakan data yang berdistribusi normal (Silitonga, 2011).
            Langkah-langkah uji chi kuadrat :
1.      Menentukan jumlah kelas interval.
2.      Menentukan panjang kelas interval (PK) dengan rumus :
     
3.      Menyusun data ke dalam tabel penolong untuk menentukan harga chi kuadrat hitung seperti tabel berikut :
Tabel 3.1. Tabel Penolong Untuk Uji Normalitas
Interval
fo
Fh
(dibulatkan)
fo-fh
(fo-fh)2







Jumlah




X2 = .....?

4.      Membandingkan harga chi kuadrat hitung (X2) dengan harga chi kuadarat tabel pada α = 0,05 dengan db = 5. Jika chi kuadrat hitung (X2) < harga chi kuadrat tabel maka data tersebut berdistribusi normal.

            b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui homogenitas data. Pengujian homogenitas varians data dua kelompok (kelompok sampel dan eksperimen) dilakukan dengan uji F dengan rumus (Silitonga, 2011) :
Jika Fhit < Ftabel (α) (db = (n1 – 1) (n2-1)) maka Ho diterima (data homogen).

            c. Uji Gain (Peningkatan Hasil Belajar)
Menurut Savinainen & Scott (dalam Subagyo,2006), skor pre test dan post test yang menunjukkan penguasaan konsep dapat dianalisis untuk menentukan gain atau peningkatannya dengan rumus:


Savinainen & Scott mengklasifikasikan gain sebagai berikut:
g = tinggi : g > 0.7;
g = Sedang : 0.7 > g > 0.3;
g = Rendah : g < 0.3;

            d. Uji Hipotesis
            Hipotesis yang akan diuji adalah :
Ho  =  µ1 µ2
            Ha  =  µ1 > µ2
di mana ;
μ1 : Rata-rata gain ternormalisasi hasil belajar kimia siswa kelas eksperimen
μ2 : Rata-rata gain ternormalisasi hasil belajar kimia siswa kelas kontrol

Dalam penelitian ini jumlah siswa kedua kelas sama (n1 = n2), s1 = s2 (homogen),    daerah penolakan Ho (daerah kritis) = t > ta. Jika thitung > ttabel (a) (db = n1 + n2 – 2) maka Ha diterima (Silitonga, 2011)

Maka teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah analisis uji pihak kanan. Rumus yang digunakan untuk menghitung statistik t adalah : 
Keterangan :
           
S12 = nilai varians siswa kelas eksperimen
S22 = nilai varians siswa kelas kontrol
n1 = jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = jumlah siswa kelas kontrol

           



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian
       4.1.1. Analisis Instrumen
            Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba soal instrumen untuk mengetahui validitas, realibilitas, taraf kesukaran tes dan daya pembeda tes.
            4.1.1.1. Uji Validitas
            Setelah dilakukan uji coba tes yang digunakan sebagai instrumen penelitian, dari 40 soal yang ada 24 soal soal yang valid dan 16 soal yang tidak valid (lampiran 9). Dari 24 soal valid tersebut, 20 soal digunakan sebagai instrumen penelitian.
            4.1.1.2. Uji Reliabilitas
            Berdasarkan hasil perhitungan dari 40 soal yang digunakan untuk diuji coba reliabilitas (lampiran 10) diperoleh r11 = 0,787. Dengan demikian tes dinyatakan reliabel karena rhitung > rtabel, di mana rtabel = 0,355. Tes ini memiliki reliabilitas tinggi.
            4.1.1.3. Uji Tingkat Kesukaran
            Untuk uji tingkat kesukaran (lampiran 11) diperoleh soal dengan kriteria mudah sebanyak 13 soal, kriteria sedang sebanyak 18 soal dan kriteria sukar sebanyak 9 soal.
            4.1.1.4. Uji Daya Beda
            Untuk uji daya beda (lampiran 12) diperoleh soal dengan daya beda baik sebanyak 10 soal, daya beda cukup sebanyak 10 soal,  daya beda jelek sebanyak 12 soal dan 8 soal yang harus dibuang.
            Berdasarkan hasil uji coba keseluruhan soal instrumen (lampiran 13) maka soal yang digunakan dalam penelitian ini diambil sebanyak 20 soal yang valid dan reliabel dengan tingkat kesukaran 4 soal mudah, 13 soal sedang dan 3 soal sukar. Instrumen ini memiliki daya beda baik dan cukup.

4.1.2. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian adalah nilai pretest kelas eksperimen (lampiran 14), nilai pretest kelas kontrol (lampiran 15), nilai postest kelas eksperimen (lampiran 16), dan nilai postest kelas kontrol (lampiran 17). Tabulasi dari keempat data ini dapat dilihat pada lampiran 18.
Berdasarkan perhitungan rata-rata dan standar deviasi hasil belajar siswa (lampiran 19) diperoleh rata-rata hasil belajar siswa eksperimen untuk pretest sebesar 39,67 dengan s2 sebesar 80,91; dan untuk post-test sebesar 75,17 dengan s2 sebesar 71,52. Sedangkan rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol untuk pretest sebesar 41 dengan s2 sebesar 76,55; dan untuk post-test sebesar 62,17 dengan s2 sebesar 75,32. Kemudian dilakukan uji normalitas dan homogenitas pada masing-masing data.

4.1.2.1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan chi kuadrat ( c2) dengan taraf signifikan α = 0,05 (lampiran 20). Ringkasan perhitungan uji normalitas data pretest dan posttest kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat dalam tabel.4.1.

Tabel.4.1. Uji Normalitas Hasil Belajar (Pretest dan Postest)
 Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Kelompok
c2hitung
c2tabel
a
Kesimpulan
Eksperimen
Pre-test
6,25
11,07
0,05
Normal
Post-test
1,65
11,07
0,05
Normal
Kontrol
Pre-test
2,75
11,07
0,05
Normal
Post-test
3,75
11,07
0,05
Normal

            Pada pre-test, hasil pengujian terhadap nilai hasil belajar siswa dari kedua kelompok menghasilkan c2hitung sebesar 6,25 untuk kelas eksperimen dan 2,75 untuk kelas kontrol. Sedangkan pada post-test, hasil pengujian terhadap nilai hasil belajar siswa dari kedua kelompok menghasilkan c2hitung sebesar 1,65 untuk kelas ekperimen dan 3,75 untuk kelas kontrol. Harga c2tabel dengan derajat kebebasan (db) = 5 dan taraf signifikan (a) = 0,05 sebesar 11,07.
            Perbandingan kedua kelompok pada pre-test dan post-test menyatakan  c2hitung < c2tabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data nilai hasil belajar siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen berdistribusi normal.

4.1.2.2. Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas data dilakukan dengan uji F. Uji homogenitas data terutama dilakukan untuk kedua kelompok perlakuan, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol yang bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok siswa yang dijadikan sampel penelitian memiliki varians data yang homogen dan dapat mewakili populasi yang lainnya. Hasil pengujian homogenitas data (lampiran 21), secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Ringkasan Hasil Uji Homogenitas
Varian Data
Fhitung
Ftabel (α = 0,05) (39,39)
Kesimpulan
Pre-test
1,056
1,858
Homogen
Post-test
1,053
1,858
Homogen

            Tabel 4.2. menunjukkan bahwa dari kedua data baik pretes maupun postes memiliki varians data yang homogen. Hal ini berarti  bahwa kedua kelas yang dijadikan sampel dalam penelitian ini dapat mewakili kelas lainnya.
           
            4.1.2.3. Uji Gain (Peningkatan Hasil Belajar)
            Uji gain dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan nilai pre-test dan post-test yang diperoleh pada masing-masing kelas. Berdasarkan hasil perhitungan nilai gain siswa (lampiran 22) diperoleh nilai rata-rata gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,582 dengan varians sebesar 0,021. Sedangkan rata-rata gain untuk kelas kontrol sebesar 0,356 dengan varians sebesar 0,026.
            Nilai gain pada masing-masing kelas terbukti berdistribusi normal berdasarkan hasil uji normalitas data gain test siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen (lampiran 23) dan terbukti homogen berdasarkan hasil uji homogenitas data gain test siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen (lampiran 24).
           

4.1.2.4 Uji Hipotesis
Karena terbukti bahwa nilai gain siswa terdistribusi normal dan homogen maka dapat dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis dilakukan dengan uji-t pihak kanan. Berdasarkan perhitungan uji hipotesis (lampiran 25) diperoleh thitung =  berada pada daerah penolakan Ho di mana thitung >  ttabel (5,72 > 1,67). Dari data tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada hasil belajar siswa kelas kontrol. Sehingga implementasi meaningful learning dengan media visual berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. 

4.1.3. Nilai Evalusi Siswa
            Pada pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini, dilakukan evaluasi pada tahap penyesuaian integrasi dalam fase terakhir kegiatan inti meaningful learning. Ada lima jenis aktivitas yang dievaluasi dan aspek-aspek tersebut diberi skor 1 sampai 5 dengan berpedoman pada format penilaian evaluasi peta konsep (lampiran 8). Berdasarkan hasil penilaian evaluasi tersebut (lampiran 26), diperoleh nilai siswa pada pertemuan pertama untuk kelompok 1 dan 2 memperoleh nilai A dan nilai B untuk kelompok 3,4,5 dan 6. Pada pertemuan kedua,kelompok 1,2,dan 3 memperoleh nilai A dan nilai B untuk kelompok 4,5, dan 6. Rekapitulasi hasil penilaian evaluasi peta konsep masing-masing siswa pada pertemuan I dan II seperti tercantum dalam tabel 4.3. dibawah ini :


Tabel 4.3. Rekapitulasi Hasil Penilaian Evaluasi Peta Konsep
 Masing-Masing Siswa

No
Nama
Pertemuan
Jumlah
Nilai
I
II
1
AF
20
20
40
A
2
AH
16
17
33
B
3
AR
20
18
38
A
4
CR
17
19
36
A
5
DJ
17
17
34
B
6
DR
20
20
40
A
7
DS
16
16
32
B
8
ES
18
20
38
A
9
FY
19
17
36
A
10
FR
17
17
34
B
11
FP
19
20
39
A
12
FA
18
19
37
A
13
HA
18
18
36
A
14
IS
15
15
30
C
15
IM
17
18
35
B
16
IZ
19
19
38
A
17
KE
18
19
37
A
18
ML
18
18
36
A
19
MP
15
16
31
C
20
MS
17
16
33
B
21
ND
19
20
39
A
22
NA
18
18
36
A
23
RM
18
18
36
A
24
RH
15
15
30
C
25
RR
17
17
34
B
26
SN
19
20
39
A
27
SR
18
18
36
A
28
SA
18
18
36
A
29
SS
15
15
30
C
30
VA
17
18
35
B
Jumlah
1.064

Nilai Rata-rata
88,67
B

Berdasarkan data pada tabel 4.3, maka hasil penilaian evaluasi peta konsep selama menerapkan meaningful learning media visual menunjukkan bahwa nilai rata-rata evaluasi peta konsep siswa pada kedua pertemuan mencapai 88,67 dengan  kategori nilai B.
4.2. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA SMA pada dua kelas yang diberikan perlakuan yang berbeda, dimana kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional dan pada kelas eksperimen diberikan pembelajaran bermakna (meaningful learning) dengan media visual. Pada awal penelitian masing-masing kelas diberikan pre-test. Dari hasil pretes diperoleh hasil belajar siswa pada kelas kontrol yaitu dengan rata-rata 41 dan pada kelas eksperimen dengan rata-rata 39,67. Langkah selanjutnya peneliti melakukan perlakuan yang berbeda pada masing-masing kelas selama 2 kali pertemuan. Setelah diberikan perlakuan kemudian diadakan postes untuk mengetahui hasil belajar siswa. Dari hasil post-test didapatkan nilai siswa pada kelas eksperimen dengan rata-rata nilai 75,17. dan pada kelas kontrol diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,17. Hasil uji normalitas dan homogenitas pada masing-masing data pre-test dan post-test kedua kelas menunjukkan hasil yang homogen dan terdistribusi normal. Dari pre-test dan post-test ini dapat kita lihat bahwa pada masing-masing kelas terjadi peningkatan hasil belajar siswa. Oleh karena itu dilakukan uji gain untuk melihat perbandingan peningkatan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Dari gain yang ternormalisasi diperoleh hasil rata-rata gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,58 dan untuk kelas kontrol sebesar 0,36. Dapat kita lihat bahwa peningkatan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan peningkatan hasil belajar siswa pada kelas kontrol.Untuk membuktikan apakah benar-benar ada pengaruh yang signifikan secara statistik, maka dilakukan pengujian terhadap hipotesis. Hasil pengujian diperoleh thitung >  ttabel = 5,72 > 1,67 pada  taraf siginifikansi α = 0,05. Hal ini berarti meaningful learning dengan media visual memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa di kelas XI IPA pada materi pokok koloid di semester II SMA Negeri 1 Tanjungbalai T.A 2010/2011.
Meaningful Learning merupakan pembelajaran bermakna, dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dalam penerapan teori Ausubel ini, ada beberapa konsep dan prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu advance organizer, diferensiasi progresif, belajar subordinat, dan penyesuaian integratif. Keberhasilan meaningful learning dengan media visual sangat tergantung dengan struktur kognitif siswa.
Advance organizer merupakan pengaturan awal yang dalam penelitian ini konsep koloid dikaitkan dengan konsep penggolongan materi yang telah dipelajari sebelumnya di kelas X. Kemudian diberikan suatu peta konsep sistem koloid untuk mengatur struktur kognitif siswa tentang apa-apa saja yang akan dipelajari dalam sistem koloid ini. Selanjutnya dalam mempelajari konsep koloid dilakukan dari yang umum ke yang khusus mengikuti jalur peta konsep yang telah diberikan pada advance organizer sebelumnya. Hal ini disebut diferensiasi progresif. Di sinilah peranan yang besar media. Dengan adanya media visual berupa peta konsep, siswa akan lebih mudah menghubungkan konsep yang satu dengan yang lain. Media visual berupa tabel-tabel dan gambar juga sangat memudahkan guru dalam menjelaskan konsep koloid.
Agar konsep tersebut bermakna, konsep yang bersifat logika abstrak dikaitkan dengan pengalaman nyata dalam skala laboratorium. Hal ini disebut dengan belajar subordinat. Dalam penelitian ini, siswa dibimbing untuk membedakan koloid dengan campuran lain, yakni larutan dan suspensi ; memahami sifat-sifat koloid dan pembuatannya. Kemudian kemampuan kognitif siswa disesuaikan dengan konsep yang seharusnya agar tidak terjadi miskonsepsi. Penyesuaian ini disebut rekonsiliasi integratif. Siswa dalam kelompoknya diberikan suatu evaluasi berupa peta konsep yang harus dilengkapi. Jawaban yang diberikan siswa harus disertai alasan. Dari jawaban, alasan, kerja sama dalam kelompok, dan kemampuan berbicara siswa, guru dapat menilai apakah pemahaman siswa tersebut sesuai atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai evaluasi siswa sebesar 88,67 dengan interperetasi nilai B.
            Sementara pada kelas yang diberikan pendekatan konvensional, siswa lebih banyak mendengarkan penjelasan guru didepan kelas dan kegiatan belajar mengajar berpusat pada guru. Hal ini mengakibatkan hanya sedikit siswa yang aktif dalam proses pembelajaran dan siswa menjadi kurang bersemangat. Inilah yang mempengaruhi kemampuan siswa yang terlihat dari hasil belajar kimia yang masih tergolong rendah.
Ditinjau kembali nilai post-test masing-masing kelas, hasil post-test yang diperoleh siswa pada kelas eksperimen dengan rata-rata nilai 75,167. Nilai ini telah memenuhi kelulusan KKM sekolah yang bernilai 70. Hasil belajar siswa pada kelas kontrol diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,167. Nilai ini belum memenuhi kelulusan KKM sekolah dan sebenarnya perlu dilakukan remedial. Berdasarkan hasil observasi di SMA Negeri 1 Tanjungbalai dengan pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan oleh guru kimia di sekolah tersebut dari 153 orang siswa hanya 33,33% siswa yang memenuhi KKM sekolah. Dan smua siswa yang tidak lulus KKM berasal dari kelas non unggulan. Artinya pada satu kelas non unggulan hanya sekitar 10 orang yang lulus KKM. Sehingga rata-rata nilai pembelajaran siswa dalam satu kelas sebelum dilakukan remedial biasanya memang kurang dari 70. Begitupun dengan pembelajaran konvensional yang dilakukan dalam penelitian ini. Kemampuan peneliti dalam mengajar siswa dengan pembelajaran konvensional tidak lebih baik dibandingkan dengan kemampuan guru kimia di sekolah tersebut sehingga hasil belajar siswa tetap tidak memperoleh nilai 70 ke atas. Hal ini dapat menjadi gambaran mengapa pada kelas kontrol yang diberi pembelajaran konvensional belum memenuhi nilai KKM sekolah.
Berbeda dengan nilai yang diperoleh dari pembelajaran yang menerapkan  meaningful learning dengan media visual. Hasil belajar siswa dengan pembelajaran meaningful learning  media visual memenuhi kelulusan KKM tanpa dilakukan remedial. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak sekolah serta guru-guru untuk menerapkan meaningful lerning dengan media visual sebagai salah satu inovasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas keberhasilan belajar siswa
Kelebihan meaningful learning ialah semua informasi yang diperoleh akan terstruktur, sehingga akan lebih mudah diingat dan tidak cepat lupa. Media visual yang digunakan sangat mendukung keberhasilan pembelajaran ini. Dengan adanya media visual berupa media relia, siswa dapat melihat langsung perbedaan koloid dengan larutan dan suspensi. Begitu pula dengan peta konsep yang sangat berperan dalam membantu mengorganisasikan informasi yang diterima siswa. Tabel-tabel dan tampilan animasi yang menarik membantu siswa memahami informasi dan memasukkannya ke dalam struktur kognitif. Dalam meaningful learning siswa bebas berpendapat akan pemahamannya masing-masing. Setiap siswa akan diberi kesempatan berdiskusi dan menjawab pertanyaan serta memberikan alasan atas pendapatnya tersebut. Pemahaman siswa yang kurang tepat akan disesuaikan dan diberi penjelasan oleh guru dalam tahap penyesuaian integratif. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional yang dimonopoli oleh guru. Umumnya siswa akan menjadi pasif dan hanya mendengarkan penjelasan guru.
Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Tanjungbalai pada siswa kelas XI IPA pada materi koloid terbukti bahwa meaningful learning dengan media visual terbukti memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil belajar siswa, dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.    

Temuan Penelitian :
  1. Hasil belajar kimia siswa yang diberi pembelajaran meaningful learning dengan media visual pada materi koloid di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai T.A 2010/2011 sebelum diberikan perlakuan rata-rata pretest sebesar 39,67 dan setelah diberi perlakuan rata-rata posttest siswa sebesar 75,17 ; dengan rata-rata gain sebesar 0,58 (kategori sedang)
  2. Hasil belajar kimia siswa yang diberi pembelajaran konvensional pada materi koloid di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai T.A 2010/2011 sebelum diberikan perlakuan rata-rata pretest sebesar 41 dan setelah diberi perlakuan rata-rata posttest siswa sebesar 62,17 ; dengan rata-rata gain sebesar 0,36 (kategori sedang)
  3. Hasil evaluasi siswa selama mengikuti pembelajaran meaningful learning dengan media visual pada materi koloid di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanjungbalai T.A 2010/2011 diperoleh nilai rata-rata 88,67 dengan kategori nilai B.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Hasil belajar kimia siswa yang dibelajarkan dengan implementasi meaningful learning lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan pengajaran konvensional. Meaningful learning dengan media visual berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid di SMA Negeri 1 Tanjungbalai Tahun Ajaran 2010/2011.


5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka sebagai tindak lanjut dari penelitian ini disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Para guru agar mengimplementasikan meaningful learning dengan media visual sebagai salah satu inovasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas keberhasilan belajar siswa.
2.      Para peneliti yang akan melaksanakan penelitian agar mengembangkan implementasi meaningful learning dengan media lain seperti audio visual dan meniliti hubungan motivasi siswa terhadap pelajaran tersebut.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim,(2009),Teori Belajar Ausubel,http//www.geogle/teori-belajar-ausubel.html
Arikunto,S., (2006),  Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Arsyad, A., (2009), Media Pembelajaran, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Batubara, R,N.,  (2007), Implementasi Meaningful Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan.

Dahar, R,W., (1996), Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta.
Djamarah,S,B.,dan Zain, A., (2006), Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta.     

Hamid, A., (2009), Teori Belajar dan Pembelajaran, Program Pasca Sarjana Unimed,Medan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, (2009), Buku Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan, FMIPA Unimed.

Naibaho, A., (2010), Implementasi Meaningful Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Pada Pokok Bahasan Sistem Koloid, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan.

Pasaribu, E (2002). Implementasi Teori Ausubel pada Pembelajaran Sifat Koligatif Larutan di SMU Badung Provinsi Bali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.

Purba, M., (2006), Kimia Untuk SMA Kelas XI, Erlangga, Jakarta.
Rumansyah., (2002), Penerapan Metode Latihan Berstruktur dalam Meningkatkan Pemahaman Siswa Trhadap Konsep Persamaan Reaksi Kimia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 035, Tahun ke-8, Maret 2002.

Sanjaya,W., (2006), Strategi Pembelajaran, Kencana, Jakarta.
Silitonga,P,M., (2011), Statistik , FMIPA Universitas Negeri Medan, Medan.
Slameto,(2010),Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya,Rineka Cipta, Jakarta

Subagyo,Y., (2006). Pembelajaran Sains dengan Pendekatan Keterampilan Proses untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa,http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/ collect/ skripsi/ index/ assoc/HASH32ca/09e5ea9b.dir/doc.pdf  diunduh pada tanggal 20 April 2011 pukul 13.12

Sudjana, (2005), Metode Statistika, PT Tarsito, Bandung.
Sutresna, N., (2005), Kimia SMA, Grafindo, Bandung.
Suyanti,R.D, (2008), Strategi Pembelajaran Kimia, Program Pasca Sarjana Unimed,Medan.

Tambunan,M., dan Simanjuntak,A., (2009), Strategi Belajar Mengajar, FMIPA UNIMED, Medan.