Selasa, 13 November 2012

MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN





SERTIFIKASI DALAM PENINGKATAN PROFESIONILASI GURU DI INDONESIA





OLEH:

KELOMPOK VI



                              Sri Rezeki Sitohang            071244310037
                              Minar Silitonga                   071244310054
                              Romanti                              071244310048
                              Aleksander                          071244310086
                              Rafizanisa Fahmi               071244310108






FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2010









BAB I
PENDAHULUAN

Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme.
Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai.
Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Walaupun demikian, perlu dikemukakan bahwa status profesional ini tidak dapat dicapai hanya dengan mengemukakan persyaratan atau undang-undang sekalipun, melainkan status profesional ini hanya dapat dicapai melalui suatu perjuangan.
Ada beberapa proses menjadi profesional, yakni melalui pendidikan dan pelatihan (menjadi S1/D4), kolaborasi guru (KKG/PKG), dan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisasi guru adalah melalui sertifikasi guru.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Profesionalisasi Guru di Indonesia
            Ada 3 kompetensi yang diperlukan untuk menjadikan guru sebagai jabatan, yaitu: kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Guru yang profesional artinya memiliki kemampuan melaksanakan tugasnya dengan baik, penuh kesadaran dan tanggung jawab. Profesi guru memerlukan penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan yang terpadu menjadi keahlian, yang diperoleh melalui pendidikan yang lama dan latihan yang intensif di LPTK. Pekerjaan ini hampir tidak mungkin dapat dilakukan secara baik dan benar oleh orang yang tidak dipersiapkan untuk itu atau orang yang tidak profesional. Pekerjaan sebagai guru apabila tidak dikerjakan secara baik resikonya besar apabila kita lihat di kemudian hari.
            Pekerjaan guru sebenarnya mengandung resiko tinggi, hanya akibatnya baru akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Misalnya, guru yang tidak profesional dalam mengerjakan kimia, atau matematika, bukan saja berakibat kepada nilai atu prestasi anak yang rendah, tetapi dapat lebih buruk lagi, anak dapat memben-ci mata pelajaran tersebut. Demikian juga guru yang dalam memperlakukan siswa dengan cara yang tidak edukatif, akan dikuasai oleh sikap buruk selama hidupnya. Sikap itu antara lain pemalu, sulit bergaul, tidak berani mengemukakan pendapat, tidak berani memimpin, dan lain-lain.
            Kondisi guru di Indonesia belum sepenuhnya profesional, sudah barang tentu diperlukan usaha meningkatnya. Peningkatan kualifikasi pendidikan dan pelatihan guru adalah penting, yang dilakukan melalui pendidikan pra jabatan maupun pendidikan/ latihan dalam jabatan.
            Di Indonesia, sebenarnya telah ada wahana yang digunakan untuk meningkatakan profesionalisasi guru, misalnya Pusat Kegiatan Guru (PKG), Kelompok Kerja Guru (KKG) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Pelatihan dalam in-service training yang diselenggarakan di sekolah, atau dinas endidikan juga sudah dilakukan. Di beberapa sekolah dapat diadakan rapat kerja (workshop) , diskusi, atau kologium.
            Pemberdayaan dan peningkatan pribadi guru dengan berbagai kegiatan agar menjadi guru profesional disebut dengan istilah profesionalisasi. Salah satunya yakni dengan program sertifikasi.
2.2. Sertifikasi Guru
Sebagai tenaga profesional, guru membutuhkan pengakuan berupa bukti formal yang berbentuk sertifikat pendidik. Sertifikasi guru ini dikeluarkan oleh PT yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. PT yang dimaksud adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) baik eks IKIP, STKIP maupun FKIP di universitas-universitas.
Mungkinkah dalam sepuluh tahun ke depan LPTK mampu menuntaskan program sertifikasi pendidik bagi seluruh guru di Indonesia? Kalau dirata-ratakan berarti setiap tahunnya terdapat sekitar 260.000 guru yang wajib mengikuti uji kompetensi (yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Kapasitas LPTK negeri, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. (Kompas, 27/01/2006). Selama sepuluh tahun, paling hanya sanggup mensertifikasi sepertiganya. Artinya, duapertiga guru di seluruh Indonesia belum tersentuh program ini. Akibatnya, mereka tidak mempunyai sertifikat pendidik. Padahal sertifikat pendidik ini diperlukan guru untuk melaksanakan tugas keprofesionalannya, termasuk untuk memperoleh tunjangan profesi.
Bahkan dalam renstra Ditjen PMPTK Depdiknas (2007) termaktub, bahwa baru pada tahun 2016 seluruh guru akan selesai menjalani proses sertifikasi dan sekaligus memperoleh tunjangan profesinya. Hal ini berarti tidak mengindahkan amanat yuridis formal UU No. 14/2005 (pasal 82 ayat 2) yang hanya memberi waktu selambat-lambatnya sepuluh tahun sejak berlakunya UU itu, atau tanggal 30 Desember 2015 sebagai deadline-nya.
Pada gilirannya, seiring dengan tertunda-tundanya PP tentang Guru dan lambatnya progam sertifikasi guru yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2006 lalu, maka bagi sebagian terbesar guru Indonesia, sertifikasi guru ibarat jauh panggang dari api. Alih-alih memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan diperolehnya tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok, justru hanya penantian panjang yang berbuah kekecewaan yang akan diperoleh para guru.

            2.2.1. Permasalahan Sehubungan Sertifikasi Guru
Berikut ini terdapat sejumlah persoalan lainnya yang muncul seiring dengan adanya reformasi pendidikan terhadap profesi guru:
  1. Guru yang akan diikutsertakan dalam program sertifikasi adalah mereka yang jumlah mengajarnya adalah 24 jam tatap muka per minggu. Kalau aturan ini diberlakukan secara rigid, maka akan semakin banyak lagi guru yang tidak akan terjaring sertifikasi. Pada gilirannya, peserta didik kita akan dididik oleh guru-guru yang tidak layak mengajar.
  2. Banyak guru, khususnya bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan Keputusan MenPAN No. 84/1993, harus diberhentikan dari jabatannya karena sudah lebih dari enam tahun sejak diangkat dalam jabatan terakhir tidak mampu mengumpulkan angka kredit minimal yang disyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatannya tersebut. Hal tersebut menimpa pada guru-guru dengan jabatan guru pembina (golongan/ruang, IV/a). Ini dikarenakan mereka terjegal karya tulis ilmiah (KTI).
  3. Dengan adanya perubahan kurikulum menjadi KBK/KTSP yang menuntut otonomi sekolah maupun otonomi pedagogik guru tidak diimbangi dengan pemahaman dan keterampilan untuk menyusun kurikulum itu sendiri. Akibatnya, karena sudah terbiasa dengan budaya "juklak-juknis", maka KTSP Cuma berupa kumpulan "copy-paste".
  4. Banyak guru, terutama guru honorer/tidak tetap baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang mendapatkan take home pay di bawah UMR (untuk provinsi Jawa Barat, UMR tahun 2006 adalah sebesar Rp. 447.654,-). Ini terjadi karena manajemen sekolah masih menganut paradigma lama penghonoran guru, yakni guru yang "mengajar sebulan dibayar seminggu" (bandingkan dengan dosen yang dibayar per tatap muka)
  5. Perlindungan hukum terhadap profesi guru masih sangat lemah (baca: kasus 27 orang guru di Medan yang dipecat pihak sekolah karena melaporkan kecurangan pelaksanaan UN). Di sini, termasuk juga kepastian kerja guru honorer/tidak tetap yang labil/rawan "pemecatan" pihak manajemen sekolah.
  6. Adanya pameo "pengetahuan guru dan siswa hanya berbeda satu malam", disebabkan oleh karena guru tidak mengimplementasikan "life long education" atau tidak terus menerus mengupdate ilmu-pengetahuannya, baik secara formal (kuliah lagi atau mengikuti diklat, penataran, seminar/lokakarya yang berkaitan dengan bidang tugasnya) maupun dengan mengakses sumber pembelajaran kontemporer, seperti: buku-buku, majalah, jurnal, surat kabar, atau internet. Hal ini karena guru masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan sembako untuk menghidupi keluarganya tinimbang membiayai hal-hal lainnya.
  7. Peranan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru masih kurang diberdayakan oleh para stakeholder pendidikan di daerah.

2.2.2. Undang-Undang yang Berkaitan dengan Sertifikasi Guru
Kebutuhan/ kekosongan/ kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan "surat tugas" dari kepala sekolah. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lemahnya profesi guru di Indonesia. Adapun kelemahan-kelemahan lainnya yang terdapat dalam profesi keguruan di Indonesia, antara lain berupa:
  1. Masih rendahnya kualifikasi pendidikan guru dan tenaga kependidikan;
  2. Sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang belum terpadu;
  3. Organisasi profesi yang rapuh; serta
  4. Sistem imbalan dan penghargaan yang kurang memadai.
Akhirnya, setelah 60 tahun Indonesia merdeka, bangsa kita mempunyai sebuah undang-undang (UU) mengenai profesi guru. Hal ini ditandai dengan disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 30 Desember 2005, serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI tahun 2005 nomor 157.
Sungguh sebuah perjuangan yang teramat berat dan melelahkan di mana sejak tahun 1999 Depdiknas bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI merancang naskah akademis dan rancangan undang-undang (semula bernama RUU Guru), kemudian untuk mengakomodasi dosen (sebutan guru di perguruan tinggi) berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Meskipun sebelumnya telah disosialisasikan serta memperoleh masukan dan tanggapan secara luas dari para guru dan dosen, para pengelola pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota, organisasi profesi, kalangan akademisi, perguruan tinggi, dan lain-lain; namun secara praksis UU Guru dan Dosen masih menyisakan banyak persoalan yang memerlukan pemecahan segera, rasional, proporsional, adil, dan bijaksana.
UU Guru dan Dosen (pasal 83) mengamanatkan selambat-lambatnya satu setengah tahun sejak berlakunya undang-undang ini (sekitar Juni/Juli 2007) semua peraturan pemerintah (PP) harus sudah selesai. Padahal, untuk guru saja, terdapat paling tidak 15 pasal yang mesti dibuatkan PP-nya yakni meliputi: kompetensi guru (pasal 10), sertifikasi pendidik (11), anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik (pasal 13), hak guru (pasal 14), tunjangan profesi guru (pasal 16), tunjangan khusus (pasal 18), maslahat tambahan (pasal 19), penugasan WNI sebagai guru dalam kedaan darurat (pasal 21), pola ikatan dinas bagi calon guru (pasal 22), pengangkatan dan penempatan guru pada satuan yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah (pasal 25), penempatan guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural (pasal 26), pemindahan guru (pasal 28), guru yang bertugas di daerah khusus (pasal 29), pemberian penghargaan (pasal 37), dan cuti (pasal 40).
Hingga sekarang (Agustus 2007) belum ada satu pun PP tentang Guru, sesuai dengan amanat UU No. 14/2005 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Barulah sesudah Pengurus Besar PGRI mengeluarkan "Pernyataan PGRI" di Jakarta, pada tanggal 10 Mei 2007, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
UU Guru dan Dosen (pasal 82 ayat 2) mewajibkan guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik untuk memenuhinya paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Mungkinkah?
Berdasarkan data Depdiknas (2007) di atas, dari 2.245.952 guru di Indonesia lebih dari separuhnya (59%) tidak layak mengajar atau tidak memiliki kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan minimal seorang guru harus berijazah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 1.330.566 orang, terdiri dari 135.344 guru TK, 953.511 guru SD, 5.507 guru SLB, 171.558 guru SMP, 31.645 guru SMA, dan 33.001 guru SMK.
Konsekuensi logisnya, para guru tersebut mesti melanjutkan studi ke jenjang S-1/D-IV supaya memenuhi kualifikasi akademis. Tetapi, siapa yang akan membiayai studi mereka? Biaya sendiri? Apakah cukup biaya bagi setiap guru untuk melanjutkan studi lagi dengan kesejahteraan hidup mereka yang relatif minim? Biaya pemerintah? Adakah political will atau komitmen pemerintah untuk itu, setelah amanat UUD 1945 saja tidak diindahkan.



BAB III
KESIMPULAN

Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya bersertifikat pendidik. Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, maka seorang guru berhak memperoleh tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Diharapkan dengan meningkatkan kesejahteraan guru ini akan diimbangi dengan peningkatan kinerja guru. Sebab para guru akan lebih terfokus pada tugas keprofesionalannya di satuan pendidikan/sekolahnya masing-masing dan tidak lagi menjadi "guru luar biasa"
Meskipun pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof DR Suwarma Al Muchtar SH MH menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional karena sertifikasi guru cederung pendekatan formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia (Republika Online, Jum`at, 16 Maret 2007, 16:27:00), tetapi paling tidak upaya pemerintah ini mampu menjadi semacam "penawar dahaga di kala haus" atau "setitik cahaya di tengah kegelapan". Artinya, merupakan sebuah angin segar perubahan guna mengangkat citra, harkat dan martabat guru.
Realisasinya, tentu saja semua anak bangsa, seluruh elemen masyarakat, terutama komunitas pendidikan perlu mengawasi pelaksanaannya supaya tetap berada "di jalan yang benar" dan mengeliminasi terjadinya penyimpangan serta praktik KKN yang masih saja membudaya di NKRI ini.

 

2 komentar:

The Geeks mengatakan...


saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
Artikel yang menarik, bisa buat referensi ini ..
terimakasih ya infonya :)

Rafizanisa mengatakan...

terima kasih kembali... :)